Entri Populer

Selasa, 27 September 2011

tasawuf dalam islam


TASAWUF DALAM ISLAM
        I.            DEFINISI
            Tasawuf menurut etimologi diambil dari kata shafa yang berarti bersih, yaitu bersih hati, pikiran, ucapan, dan perbuatan dari segala sifat yang tercela di hadapan Allah swt.
Kata tasawuf juga berasal dari kata suf yang artinya kain yang terbuat dari bulu domba yang di sebut wool. Wool sifatnya kasar melambangkan kesederhanaan hidup yang memakainya.[1]
Dan ada yang berpendapat bahwa kata tasawuf berasal dari kata shifah yang artinya sifat, sebab seorang sufi adalah orang yang menghiasi dirinya dari segala sifat yang terpuji dan meninggalkan sifat tercela.[2]
Tasawuf menurut terminologi adalah suatu ilmu yang membahas mengenai tata cara dan proses pensucian diri dari segala sifat yang tercela, sehingga dapat berhubungan secara rohaniah dengan Allah swt.
 Menurut Junayd Al- Baghdadi menyatakan bahwa tasawuf adalah menyerahkan diri anda kepada Allah swt. Dan berakhlaq luhur ( mulia) dan meninggalkan akhlaq tercela.
 Syeikh Islam Zakaria Ansari  tasawuf adalah mengajarkan cara untuk menyucikan diri, meningkatkan moral dan membangu kehidupan jasmani dan rohani guna mencapai kebahagian abadi. Unsur utama tasawuf adalah penyucian jiwa dan tujuan akhirnya adalah tercapainya kebahagian dan keselamatan dunia akhirat.[3]


      II.            DASAR- DASAR QUR’ANI
Tasawuf memperoleh perhatian yang besar dalam ajaran islam. Banyak ayat Al- Qur’an yang menganjurkan manusia agar bertaubat, zuhud, niat yang ikhlas, sabar, tawakal, dan ridha. Dengan sifat- sifat tersebut dapat terpelihara kesucian diri merupakan kunci kebahagian yang sejati.[4]
Diantara ayat-ayat Allah yang dijadikan landasan akan urgensi kezuhudan dalam kehidupan dunia adalah firman Allah dalam al-Qur’an.
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kamiberikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”. (Q.S Asy-Syuura : 20).
Diantara nash-nash al-Qur’an yang mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa berbekal untuk akhirat adalah firman Allah :
            “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. ( Q.S al-Hadid :20)
Ayat ini menandaskan bahwa kebanyakan manusia melaksanakan amalan-amalan yang menjauhkannya dari amalan-amalan yang bermanfaat untuk diri dan keluarganya, sehingga mereka dapat kita temukan menjajakan diri dalam kubangan hitamnya kesenangan dan gelapnya hawa nafus mulai dari kesenangan dalam berpakaian yang indah, tempat tinggal yang megah dan segala hal yang dapat menyenangkan hawa nafsu, berbangga-bangga dengan nasab dan banyaknya harta serta keturunan (anak dan cucu). Akan tetapi semua hal tesebut bersifat sementar dan dapat menjadi penyebab utama terseretnya seseorang kedalam azab yang sangat pedih pada hari ditegakkannya keadilan di sisi Allah, karena semua hal tersebut hanyalah kesenangan yang melalaikan, sementara rahmat Allah hanya terarah kepada mereka yang menjauhkan diri dari hal-hal yang melallaikan tersebut.
Ayat al-Qur’an lainnya yang dijadikan sebagai landasan kesufian adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan kewajiban seorang mu’min untuk senantiasa bertawakkal dan berserah diri hanya kepada Allah swt semata serta mencukupkan bagi dirinya cukup Allah sebagai tempat menggantungkan segala urusan, ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan hal tersebut cukup variatif tetapi penulis mmencukupkan pada satu diantara ayat –ayat tersebut yaitu firman Allah :  
 “Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. ( Q.S ath-Thalaq 3)
Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi landasan munculnya kezuhudan dan menjadi jalan kesufian adalah ayat-ayat yang berbicara tentang rasa takut kepadan Allah dan hanya berharap kepada-Nya diantaranya adalah firman Allah:A
“ lambung mereka jauh dari tempat tidurnya[5] dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang Kami berikan.” (Q.S as-Sajadah : 16)
    III.            SEJARAH TIMBULNYA TASAWUF
Menurut al-Dzahabi, istilah sufi mulai dikenal pada abad ke-2 Hijriyah, tepatnya tahun 150 H. Orang pertama yang dianggap memperkenalkan istilah ini kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga Abu Hasyim al-Kufi. Tetapi pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul di dunia Islam pada awal abad ke-3 hijriyah yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang masihi asal Persia.
Tokoh ini mengembangkan pemikiran bahwa cinta (mahabbah) kepada Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui belajar, melainkan karena faktor pemberian (mauhibah) dan keutamaan dari-Nya. Adapun tasawuf baginya adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki. Tesis ini kemudian menjadi suatu asas dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam. Beberapa tokoh lainnya yang muncul pada periode ini adalah:
1.      al-Suqti (w.253 H)
2.       al-Muhasibi (w. 243 H)
3.       dan Dzunnun al-Hasri (w. 245 H).
Tasawuf kemudian semakin berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam pada abad ke-4 H dengan sistem ajaran yang semakin mapan. Belakangan, al-Ghazali menegaskan tasawuf atau hubbullah (cinta kepada Allah) sebagai keilmuan yang memiliki kekhasan tersendiri di samping filsafat dan ilmu kalam.
Pada abad ke-4 dan ke-5 hijriyah inilah konflik pemikiran terjadi antara kaum sufi dan para fuqaha’. Umumnya, kaum sufi dengan berbagai tradisi dan disiplin spiritual yang dikembangkannya dipandang oleh para fuqaha’ sebagai kafir, zindiq dan menyelisihi aturan-aturan syari’at. Konflik ini terus berlanjut pada abad berikutnya, terlebih lagi ketika corak falsafi masuk dalam tradisi keilmuan tasawuf dengan tokoh-tokohnya seperti Ibn al-’Arabi dan Ibn al-Faridl pada abad ke-7 H. Realitas inilah yang kemudian menimbulkan pembedaan dua corak dalam dunia tasawuf, yaitu antara tasawuf ‘amali (praktis) dan tasawuf nazari (teoritis).
Tasawuf praktis atau yang disebut juga tasawuf sunni atau akhlaki merupakan bentuk tasawuf yang memagari diri dengan al-Qur’an dan al-Hadith secara ketat dengan penekanan pada aspek amalan dan mengaitkan antara ahwal dan maqamat. Sedangkan tasawuf teoritis atau juga disebut tasawuf falsafi cenderung menekankan pada aspek pemikiran metafisik dengan memadukan antara filsafat dengan ketasawufan.
Di antara tokoh yang dianggap sebagai pembela tasawuf sunni adalah:
1.      al-Haris al-Muhasibi (w. 243H/858 M).
2.       al-Junaid (w. 298/911).
3.       al-Kalabadzi (385/995).
4.       Abu Talib al-Makki (386/996).
5.       Abu al-Qasim Ab al-Karim al-Qusyaeri (465/1073).
6.       alGhazali (505/1112).
 Sedangkan tokoh yang sering disebut sebagai penganut tasawuf falsafi adalah:
1.      Abu Yazid al-Bustami (261/875).
2.       al-Hallaj (309/992).
3.       al-Hamadani (525/1131).
4.       al-Suhrawardi al-Maqtul (587/1191).
Diprediksi bahwa kemunculan pemikiran tasawuf adalah sebagai reaksi terhadap kemewahan hidup dan ketidakpastian nilai. Tetapi secara umum tasawuf pada masa awal perkembangannya mengacu pada tiga alur pemikiran:
1.      gagasan tentang kesalehan yang menunjukkan keengganan terhadap kehidupan urban dan kemewahan.
2.       masuknya gnostisisme Helenisme yang mendukung corak kehidupan pertapaan daripada aktif di masyarakat.
3.       masuknya pengaruh Buddhisme yang juga memberi penghormatan pada sikap anti-dunia dan sarat dengan kehidupan asketisme.
 Terdapat 3 sasaran antara dari tasawuf:
1.      pembinaan aspek moral.
2.      ma’rifatullah melalui metode kasyf al-hijab.
3.      bahasan tentang sistem pengenalan dan hubungan kedekatan antara Tuhan dan makhluk. Dekat dalam hal ini dapat berarti: merasakan kehadiran-Nya dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam iradah Tuhan.
Dari segi sejarah, sufisme sebenarnya dapat dibaca dalam 2 tingkat:
1.      sufisme sebagai semangat atau jiwa yang hidup dalam dinamika masyarakat muslim.
2.       sufisme yang tampak melekat bersama masyarakat melalui bentuk-bentuk kelembagaan termasuk tokoh-tokohnya.
Perluasan wilayah kekuasaan Islam tidak semata-mata berimplikasi pada persebaran syiar Islam melainkan juga berimbas pada kemakmuran yang melimpah ruah. Banyak di kalangan sahabat yang dahulunya hidup sederhana kini menjadi berkelimpahan harta benda. Menyaksikan fenomena kemewahan tersebut muncul reaksi dari beberapa sahabat seperti Abu Dzar al-Ghifari, Sa’id bin Zubair, ‘Abd Allah bin ‘Umar sebagai bentuk “protes” dari perilaku hedonistic yang menguat pada masa kekuasaan Umayyah.
Disintegrasi sosial yang parah mempengaruhi umat mencari pedoman doktrinal yang mampu memberi mereka ketenangan jiwa dan sekaligus memberi kesadaran yang mengukuhkan ikatan yang damai sesame muslim di antara mereka. Secara garis besar perkembangan tarekat dapat dibaca melalui tiga tahapan berikut:
1.      khanaqah, yakni terbentuknya komunitas syaikh-murid dalam aturan yang belum ketat untuk melakukan disiplin-disiplin spiritual tertentu. Gerakan yang bercorak aristokratis ini berkembang sekitar abad ke-10 M.
2.      tariqah, yakni perkembangan lebih lanjut di abad berikutnya dimana formulasi ajaran-ajaran, peraturan dan metode-metode ketasawufan mulai terbentuk mapan.
3.      taifa, yakni masa persebaran ajaran dan pengikut dari suatu tarekat yang melestarikan ajaran syaikh tertentu.
Tarekat adalah lembaga tempat berhimpunnya orang-orang yang melalui ikatan hirarkis tertentu sebagai murshid-murid, menjalani disiplin-disiplin spiritual tertentu untuk menemukan kejernihan jiwa dan hati. Varian tarekat dapat disejajarkan sebagai mazhab dalam bidang tasawuf sebagaimana muncul pula varian-varian mazhabi dalam bidang pemikiran kalam dan fikih

   IV.            TASAWUF KONTAK DENGAN KEBUDAYAAN LAIN

1.      pengaruh ajaran nasrani
analisir- analisir luar yang ikut mempengaruhi tasawuf islam ialah agama Nasrani, sunguh telah terjadi perdebatan sengit antara tokoh- tokoh nasrani dan tokoh- tokoh tasawuf. Dalam pada itu antara kedua tokoh tersebut juga saling bergaul dan saling mengambil ajaran kedianya, begitu eratnya percampuran ajaran keduanya tak jarang tak jarang tokoh tasawuf mengambil pelajaran dari kitab injil, yang tampak jelas dalam berbagai ungkapan perkataan dalam kitab mereka.
Pengaruh ajaran nasrani antara lain:
§  bentuk pakaian nasrani
§  pelaksanaan macam- macam Nadzar
§  teori tentang cinta kasih
§   menyendiri
§  Teori tentang penjelmaan tuhan kedalam diri manusia
2.      pengaruh dari neo platonisme
§  teori mengenai pancaran ilahi
§  teori mengenai wujud alam dan wujud tuhan
§  teori mengenai fana ( lenyap di alam ketuhanan)
3.      penaruh dari budha
§  penguasaan tasbih
§  memperketat maqam- maqam untuk sampai kepada tuhan
§  teori fana ( masuk kea lam nirvana)[6]







DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Moh. Ardani, Akhlaq Tasawuf. Jakarta: Mitra Cahaya Utama, 2000
Drs. Abdul Halim. M.Ag. dkk, Pendikan Agama Islam.  Jakarta: Balai Pustaka, 2002
Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf. Penerjemah Khairul Harahap.  Jakarta: Qisthi Press, 2005
Dr. Mr. Valiudin, Tasawuf Dalam Qur’an. Penerjemah Tim Pustaka Firdaus.  Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002




[1]Drs. Abdul Halim. M.Ag. dkk, Pendikan Agama Islam. ( Jakarta: Balai Pustaka, 2002)h.96
[2] Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf. Penerjemah Khairul Harahap. ( Jakarta: Qisthi Press, 2005) h.5-6
[3] Dr. Mr. Valiudin, Tasawuf Dalam Qur’an. Penerjemah Tim Pustaka Firdaus. ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002) h.4
[4] Drs. Abdul Halim. M.Ag. dkk. H.96
[5] Maksudnya mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalat malam
[6] Prof. Dr. H. Moh. Ardani, Akhlaq Tasawuf. ( Jakarta: Mitra Cahaya Utama, 2000) h.214-215

Tidak ada komentar:

Posting Komentar