Entri Populer

Selasa, 27 September 2011

tasawuf dalam islam


TASAWUF DALAM ISLAM
        I.            DEFINISI
            Tasawuf menurut etimologi diambil dari kata shafa yang berarti bersih, yaitu bersih hati, pikiran, ucapan, dan perbuatan dari segala sifat yang tercela di hadapan Allah swt.
Kata tasawuf juga berasal dari kata suf yang artinya kain yang terbuat dari bulu domba yang di sebut wool. Wool sifatnya kasar melambangkan kesederhanaan hidup yang memakainya.[1]
Dan ada yang berpendapat bahwa kata tasawuf berasal dari kata shifah yang artinya sifat, sebab seorang sufi adalah orang yang menghiasi dirinya dari segala sifat yang terpuji dan meninggalkan sifat tercela.[2]
Tasawuf menurut terminologi adalah suatu ilmu yang membahas mengenai tata cara dan proses pensucian diri dari segala sifat yang tercela, sehingga dapat berhubungan secara rohaniah dengan Allah swt.
 Menurut Junayd Al- Baghdadi menyatakan bahwa tasawuf adalah menyerahkan diri anda kepada Allah swt. Dan berakhlaq luhur ( mulia) dan meninggalkan akhlaq tercela.
 Syeikh Islam Zakaria Ansari  tasawuf adalah mengajarkan cara untuk menyucikan diri, meningkatkan moral dan membangu kehidupan jasmani dan rohani guna mencapai kebahagian abadi. Unsur utama tasawuf adalah penyucian jiwa dan tujuan akhirnya adalah tercapainya kebahagian dan keselamatan dunia akhirat.[3]


      II.            DASAR- DASAR QUR’ANI
Tasawuf memperoleh perhatian yang besar dalam ajaran islam. Banyak ayat Al- Qur’an yang menganjurkan manusia agar bertaubat, zuhud, niat yang ikhlas, sabar, tawakal, dan ridha. Dengan sifat- sifat tersebut dapat terpelihara kesucian diri merupakan kunci kebahagian yang sejati.[4]
Diantara ayat-ayat Allah yang dijadikan landasan akan urgensi kezuhudan dalam kehidupan dunia adalah firman Allah dalam al-Qur’an.
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kamiberikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”. (Q.S Asy-Syuura : 20).
Diantara nash-nash al-Qur’an yang mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa berbekal untuk akhirat adalah firman Allah :
            “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. ( Q.S al-Hadid :20)
Ayat ini menandaskan bahwa kebanyakan manusia melaksanakan amalan-amalan yang menjauhkannya dari amalan-amalan yang bermanfaat untuk diri dan keluarganya, sehingga mereka dapat kita temukan menjajakan diri dalam kubangan hitamnya kesenangan dan gelapnya hawa nafus mulai dari kesenangan dalam berpakaian yang indah, tempat tinggal yang megah dan segala hal yang dapat menyenangkan hawa nafsu, berbangga-bangga dengan nasab dan banyaknya harta serta keturunan (anak dan cucu). Akan tetapi semua hal tesebut bersifat sementar dan dapat menjadi penyebab utama terseretnya seseorang kedalam azab yang sangat pedih pada hari ditegakkannya keadilan di sisi Allah, karena semua hal tersebut hanyalah kesenangan yang melalaikan, sementara rahmat Allah hanya terarah kepada mereka yang menjauhkan diri dari hal-hal yang melallaikan tersebut.
Ayat al-Qur’an lainnya yang dijadikan sebagai landasan kesufian adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan kewajiban seorang mu’min untuk senantiasa bertawakkal dan berserah diri hanya kepada Allah swt semata serta mencukupkan bagi dirinya cukup Allah sebagai tempat menggantungkan segala urusan, ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan hal tersebut cukup variatif tetapi penulis mmencukupkan pada satu diantara ayat –ayat tersebut yaitu firman Allah :  
 “Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. ( Q.S ath-Thalaq 3)
Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi landasan munculnya kezuhudan dan menjadi jalan kesufian adalah ayat-ayat yang berbicara tentang rasa takut kepadan Allah dan hanya berharap kepada-Nya diantaranya adalah firman Allah:A
“ lambung mereka jauh dari tempat tidurnya[5] dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang Kami berikan.” (Q.S as-Sajadah : 16)
    III.            SEJARAH TIMBULNYA TASAWUF
Menurut al-Dzahabi, istilah sufi mulai dikenal pada abad ke-2 Hijriyah, tepatnya tahun 150 H. Orang pertama yang dianggap memperkenalkan istilah ini kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga Abu Hasyim al-Kufi. Tetapi pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul di dunia Islam pada awal abad ke-3 hijriyah yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang masihi asal Persia.
Tokoh ini mengembangkan pemikiran bahwa cinta (mahabbah) kepada Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui belajar, melainkan karena faktor pemberian (mauhibah) dan keutamaan dari-Nya. Adapun tasawuf baginya adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki. Tesis ini kemudian menjadi suatu asas dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam. Beberapa tokoh lainnya yang muncul pada periode ini adalah:
1.      al-Suqti (w.253 H)
2.       al-Muhasibi (w. 243 H)
3.       dan Dzunnun al-Hasri (w. 245 H).
Tasawuf kemudian semakin berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam pada abad ke-4 H dengan sistem ajaran yang semakin mapan. Belakangan, al-Ghazali menegaskan tasawuf atau hubbullah (cinta kepada Allah) sebagai keilmuan yang memiliki kekhasan tersendiri di samping filsafat dan ilmu kalam.
Pada abad ke-4 dan ke-5 hijriyah inilah konflik pemikiran terjadi antara kaum sufi dan para fuqaha’. Umumnya, kaum sufi dengan berbagai tradisi dan disiplin spiritual yang dikembangkannya dipandang oleh para fuqaha’ sebagai kafir, zindiq dan menyelisihi aturan-aturan syari’at. Konflik ini terus berlanjut pada abad berikutnya, terlebih lagi ketika corak falsafi masuk dalam tradisi keilmuan tasawuf dengan tokoh-tokohnya seperti Ibn al-’Arabi dan Ibn al-Faridl pada abad ke-7 H. Realitas inilah yang kemudian menimbulkan pembedaan dua corak dalam dunia tasawuf, yaitu antara tasawuf ‘amali (praktis) dan tasawuf nazari (teoritis).
Tasawuf praktis atau yang disebut juga tasawuf sunni atau akhlaki merupakan bentuk tasawuf yang memagari diri dengan al-Qur’an dan al-Hadith secara ketat dengan penekanan pada aspek amalan dan mengaitkan antara ahwal dan maqamat. Sedangkan tasawuf teoritis atau juga disebut tasawuf falsafi cenderung menekankan pada aspek pemikiran metafisik dengan memadukan antara filsafat dengan ketasawufan.
Di antara tokoh yang dianggap sebagai pembela tasawuf sunni adalah:
1.      al-Haris al-Muhasibi (w. 243H/858 M).
2.       al-Junaid (w. 298/911).
3.       al-Kalabadzi (385/995).
4.       Abu Talib al-Makki (386/996).
5.       Abu al-Qasim Ab al-Karim al-Qusyaeri (465/1073).
6.       alGhazali (505/1112).
 Sedangkan tokoh yang sering disebut sebagai penganut tasawuf falsafi adalah:
1.      Abu Yazid al-Bustami (261/875).
2.       al-Hallaj (309/992).
3.       al-Hamadani (525/1131).
4.       al-Suhrawardi al-Maqtul (587/1191).
Diprediksi bahwa kemunculan pemikiran tasawuf adalah sebagai reaksi terhadap kemewahan hidup dan ketidakpastian nilai. Tetapi secara umum tasawuf pada masa awal perkembangannya mengacu pada tiga alur pemikiran:
1.      gagasan tentang kesalehan yang menunjukkan keengganan terhadap kehidupan urban dan kemewahan.
2.       masuknya gnostisisme Helenisme yang mendukung corak kehidupan pertapaan daripada aktif di masyarakat.
3.       masuknya pengaruh Buddhisme yang juga memberi penghormatan pada sikap anti-dunia dan sarat dengan kehidupan asketisme.
 Terdapat 3 sasaran antara dari tasawuf:
1.      pembinaan aspek moral.
2.      ma’rifatullah melalui metode kasyf al-hijab.
3.      bahasan tentang sistem pengenalan dan hubungan kedekatan antara Tuhan dan makhluk. Dekat dalam hal ini dapat berarti: merasakan kehadiran-Nya dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam iradah Tuhan.
Dari segi sejarah, sufisme sebenarnya dapat dibaca dalam 2 tingkat:
1.      sufisme sebagai semangat atau jiwa yang hidup dalam dinamika masyarakat muslim.
2.       sufisme yang tampak melekat bersama masyarakat melalui bentuk-bentuk kelembagaan termasuk tokoh-tokohnya.
Perluasan wilayah kekuasaan Islam tidak semata-mata berimplikasi pada persebaran syiar Islam melainkan juga berimbas pada kemakmuran yang melimpah ruah. Banyak di kalangan sahabat yang dahulunya hidup sederhana kini menjadi berkelimpahan harta benda. Menyaksikan fenomena kemewahan tersebut muncul reaksi dari beberapa sahabat seperti Abu Dzar al-Ghifari, Sa’id bin Zubair, ‘Abd Allah bin ‘Umar sebagai bentuk “protes” dari perilaku hedonistic yang menguat pada masa kekuasaan Umayyah.
Disintegrasi sosial yang parah mempengaruhi umat mencari pedoman doktrinal yang mampu memberi mereka ketenangan jiwa dan sekaligus memberi kesadaran yang mengukuhkan ikatan yang damai sesame muslim di antara mereka. Secara garis besar perkembangan tarekat dapat dibaca melalui tiga tahapan berikut:
1.      khanaqah, yakni terbentuknya komunitas syaikh-murid dalam aturan yang belum ketat untuk melakukan disiplin-disiplin spiritual tertentu. Gerakan yang bercorak aristokratis ini berkembang sekitar abad ke-10 M.
2.      tariqah, yakni perkembangan lebih lanjut di abad berikutnya dimana formulasi ajaran-ajaran, peraturan dan metode-metode ketasawufan mulai terbentuk mapan.
3.      taifa, yakni masa persebaran ajaran dan pengikut dari suatu tarekat yang melestarikan ajaran syaikh tertentu.
Tarekat adalah lembaga tempat berhimpunnya orang-orang yang melalui ikatan hirarkis tertentu sebagai murshid-murid, menjalani disiplin-disiplin spiritual tertentu untuk menemukan kejernihan jiwa dan hati. Varian tarekat dapat disejajarkan sebagai mazhab dalam bidang tasawuf sebagaimana muncul pula varian-varian mazhabi dalam bidang pemikiran kalam dan fikih

   IV.            TASAWUF KONTAK DENGAN KEBUDAYAAN LAIN

1.      pengaruh ajaran nasrani
analisir- analisir luar yang ikut mempengaruhi tasawuf islam ialah agama Nasrani, sunguh telah terjadi perdebatan sengit antara tokoh- tokoh nasrani dan tokoh- tokoh tasawuf. Dalam pada itu antara kedua tokoh tersebut juga saling bergaul dan saling mengambil ajaran kedianya, begitu eratnya percampuran ajaran keduanya tak jarang tak jarang tokoh tasawuf mengambil pelajaran dari kitab injil, yang tampak jelas dalam berbagai ungkapan perkataan dalam kitab mereka.
Pengaruh ajaran nasrani antara lain:
§  bentuk pakaian nasrani
§  pelaksanaan macam- macam Nadzar
§  teori tentang cinta kasih
§   menyendiri
§  Teori tentang penjelmaan tuhan kedalam diri manusia
2.      pengaruh dari neo platonisme
§  teori mengenai pancaran ilahi
§  teori mengenai wujud alam dan wujud tuhan
§  teori mengenai fana ( lenyap di alam ketuhanan)
3.      penaruh dari budha
§  penguasaan tasbih
§  memperketat maqam- maqam untuk sampai kepada tuhan
§  teori fana ( masuk kea lam nirvana)[6]







DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Moh. Ardani, Akhlaq Tasawuf. Jakarta: Mitra Cahaya Utama, 2000
Drs. Abdul Halim. M.Ag. dkk, Pendikan Agama Islam.  Jakarta: Balai Pustaka, 2002
Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf. Penerjemah Khairul Harahap.  Jakarta: Qisthi Press, 2005
Dr. Mr. Valiudin, Tasawuf Dalam Qur’an. Penerjemah Tim Pustaka Firdaus.  Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002




[1]Drs. Abdul Halim. M.Ag. dkk, Pendikan Agama Islam. ( Jakarta: Balai Pustaka, 2002)h.96
[2] Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf. Penerjemah Khairul Harahap. ( Jakarta: Qisthi Press, 2005) h.5-6
[3] Dr. Mr. Valiudin, Tasawuf Dalam Qur’an. Penerjemah Tim Pustaka Firdaus. ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002) h.4
[4] Drs. Abdul Halim. M.Ag. dkk. H.96
[5] Maksudnya mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalat malam
[6] Prof. Dr. H. Moh. Ardani, Akhlaq Tasawuf. ( Jakarta: Mitra Cahaya Utama, 2000) h.214-215

Rabu, 27 Juli 2011

falsafah shalat lima waktu

     
Apa sebenarnya makna dari shalat lima waktu? Shalat lima waktu sebenarnya merupakan gambaran dari berbagai kondisi kita yang berbeda-beda sepanjang hari. Kita melewati lima tahapan kondisi pada saat sedang mengalami musibah dan fitrat alamiah kita menuntut bahwa kita harus melewatinya. Pertama, adalah ketika kita mendapat gambaran bahwa kita akan menghadapi musibah. Sebagai contoh, bayangkan ada surat panggilan bagi kita untuk menghadap ke suatu pengadilan. Kondisi pertama ini akan langsung meruyak rasa ketenangan dan keteduhan kita. Kondisi seperti menerima surat panggilan pengadilan ini mirip dengan saat ketika matahari mulai menggelincir. Sejalan dengan kondisi keruhanian tersebut ditetapkanlah shalat Dhuhur yaitu ketika matahari mulai menggelincir.

Kita mengalami kondisi kedua ketika kita sepertinya mendekat kepada tempat musibah terjadi. Sebagai contoh, setelah ditahan berdasar surat panggilan, tiba waktunya kita diajukan ke hadapan hakim. Pada saat demikian kita merasakan kegalauan perasaan dan beranggapan bahwa semua rasa keamanan telah meninggalkan diri kita. Kondisi seperti itu mirip dengan keadaan ketika sinar matahari mulai suram dan manusia bisa melihat matahari secara langsung serta menyadari bahwa sebentar lagi matahari itu akan terbenam. Sejalan dengan kondisi keruhanian seperti itu maka ditetapkanlah shalat Ashar.

Kondisi ketiga adalah keadaan ketika kita merasa kehilangan segala harapan memperoleh keselamatan dari musibah. Sebagai contoh, setelah mencatat bukti-bukti tuntutan yang akan membawa kehancuran diri kita, kita didakwa dengan bentuk pelanggaran dimana telah disiapkan surat dakwaan. Pada saat demikian, kita merasa sepertinya kehilangan semua indera dan mulai berfikir menganggap diri sebagai narapidana. Kondisi seperti itu mirip dengan saat ketika matahari terbenam dan harapan melihat terang hari sudah pupus karenanya. Diperintahkanlah shalat Maghrib yang sejalan dengan kondisi keruhanian demikian.

Kondisi keempat adalah ketika kita ditimpa musibah secara langsung dimana kegelapannya yang kelam telah menyelimuti diri kita. Sebagai contoh, setelah pembacaan bukti-bukti maka kita sepertinya lalu divonis dan diserahkan untuk dipenjarakan. Kondisi seperti itu mirip dengan keadaan malam ketika semuanya diselimuti kegelapan yang kelam. Untuk kondisi keruhanian seperti itu ditetapkanlah shalat Isya.

Setelah menghabiskan satu kurun waktu dalam kegelapan dan penderitaan, datanglah rahmat Ilahi yang meluap mengemuka dan menyelamatkan kita dari kegelapan dengan datangnya fajar yang menggantikan kegelapan malam dimana sinar pagi mulai muncul. Shalat Subuh ditetapkan untuk kondisi keruhanian seperti itu.

Berdasarkan kelima kondisi yang berubah terus tersebut maka Allah s.w.t. telah mengatur shalat lima waktu bagi kita. Dengan demikian kita bisa memahami bahwa shalat tersebut diatur waktunya bagi kemaslahatan kalbu kita sendiri. Bila kita menginginkan keselamatan dari segala musibah, janganlah kita sampai mengabaikan shalat lima waktu karena semua itu merupakan refleksi dari kondisi internal dan keruhanian kita. Shalat merupakan obat penawar bagi segala musibah yang mungkin mengancam. Kita tidak pernah mengetahui keadaan bagaimana yang dibawa oleh hari berikutnya. Karena itu sebelum awal hari, mohonlah kepada Tuhan kita yang Maha Abadi agar hari tersebut menjadi sumber kemaslahatan dan keberkatan bagi kita.
sumber: http://1artikelislam.blogspot.com/2011/04/falsafah-shalat-lima-waktu.html

khulu'


A.    PENDAHULUAN
Kehidupan suami istri hanya bisa tegak kalau ada dalam ketenangan, kasih sayang, pergaulan yang baik, dan masing-masing pihak menjalankan hak dan kewajibannya dengan baik. Tetapi adakalanya terjadi suami membenci istri atau istri membenci suami. Dalam keadaan seperti ini islam berpesan agar bersabar dan sanggup menahan diri dan menasehati dengan obat penawar yang dapat menghilangkan sebab-sebab timbulnya rasa kebencian.
Dan Islam memberikan solusi yang terbaik kepada kedua pasangan( suami- istri). Jika istri bermasalah maka solusinyan dengan Thalaq. Dan jika suami yang bermasalah maka solusinya dengan khulu’.
B.     DEFINISI
Khulu’ menurut etimologi  berasal dari kata خلع yang berarti melepaskan atau memisahkan.    خلع الرجل ثوبهPria itu melepaskan pakaian- Nya.”[1] Dan khulu’ di sebut juga Fidyah[2], Shulh[3], dan Mubara’ah[4].
Khulu’ menurut terminologi adalah akad yang di lakukan oleh suami istri untuk membebaskan istri dari pernikahannya, dengan syarat si istri membayarkan sejumlah harta ( atau maskawin yang dahulu diberikan ), lalu suami methalaqnya atau mengkhulu’nya. Juga berarti tebusan yang di berikan oleh istri kepada suami supaya mengkhulu’nya.[5]
C.    DALIL HUKUM
1.      Ijma’ ulama fiqh
2.      Firman Allah swt dalam surat Al- Baqarah ayat 229.
 “ Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya”.[6]
3.      Riwayat Ibnu Abbas ra.
Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Rasulullah saw. lalu berkata, “ Ya Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit (suami) bukan karena agamanya dan bukan (pula) karena perangainya (akhlaq), melainkan sesungguhnya aku khawatir kufur.” Kemudian Rasulullah bersabda: “ Maka maukah engkau mengembalikan kebun kepadanya ( maksudnya harta yang pernah dahulu di berikan) ? Jawabnya,” Ya (mau)” kemudian ia mengembalikannya kepadanya dan selanjutnya Rasulullah memerintahkan suaminya ( Tsabit) agar menceraikanya”( HR, Al- Bukhari dan Abu Daud ).[7]
Kata-kata “sesungguhnya aku khawatir kufur” maksudnya, tidak suka mendurhakai suami dan meninggalkan kewajiban akibat tidak cinta lagi terhadapnya.
Namun demikian, khulu’ baru boleh di lakukan apabila betul-betul ada alasan yang memaksa, seperti kalau suami itu cacat tubuhnya, buruk akhlaqnya, suka menyakiti istri dan tidak menunaikan kewajiban sebagai suami, atau dengan bersuamikan dia wanita itu khawatir lalai akan perintah Allah swt. Jadi kalau tidak ada alasan yang memaksa, hal itu tentu tidak di bolehkan.[8]
4.      Demi menghindari masalah bila terjadi ketidak cocokkan antara suami istri karena hal fisik, agama atau selainnya. Karena itu, semua ulama fiqh membolehkannya.


D.    KHULU’ TANPA ALASAN
Khulu’ hanya  di bolehkan kalau ada alasan yang benar . seperti: suami cacat badan, buruk akhlaqnya, tidak menberi nafkah lahir batin, dan tidak memenuhi kewajiban terhadap istrinya,  sedangkan istri khawatir akan melanggar hukum Allah. Dalam keadaan seperti ini maka istri tidak wajib memenuhi hak suami.Maka jika tidak ada alasan yang benar, maka tidak di pebolehkan oleh syariah.
Sebagaimana hadis yang di riwayatkan oleh Ibnu Majah dan Tirmidzi:  Dari Tsauban ra. bahwa Rasulullah saw bersabda: “ Setiap wanita yang minta Thalaq kepada suaminya tanpa alasan yang di benarkan agama, maka haram baginya menciumsemerbak (wanginya) surga.” ( HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi).
Dari tsauban ra. dari Rasulullah saw bersabda: “Wanita-wanita yang melakukan khulu’ adalah wanita-wanita munafiq( HR. Tirmidzi).[9]
E.     IDDAH PEREMPUAN YANG DI KHULU’
Menurut pendapat pendapat Utsman, Ibnu Abbas dan riwayat yang paling shahih dari Ahmad bin Hambal, dan juga endapat Ishaq bin Rahawaih, bahwa perempuan yang di Khulu’ iddah- Nya satu kali Haid. Sebagaimana hadis Tsabit, beliau bersabda kepadanya:
menjawab: Baik, lalu Rasulullah saw menyuruh istri Tsabit beriddah dengan satu kali haid dan di “Ambillah miliknya  (Istri Tsabit) untuk mu (tsabit) dan mudahkanlah urusannya, lalu ia kembalikan kepada keluarganya” (HR. Nasa’i).[10] 
F.     SIGHAH KHULU’
a)      Jumhur ulama membolehkan sighah khulu’ di ucapkan dengan kata jelas atau kiasan, seperti khulu’ atau fasakh sepertiبارئتك  ( Aku melepaskan- Mu) dan suami berkata kepada istrinya بعتك نفسي بكذا  “Aku menjual diri- Ku dengan sekian”  lalu istri berkata اشتريت  “ Aku membeli- Mu”
Atau suami berkata demikian  اشتريت طلاقك بكذا   “Belilah thalaq- Mu dengan sekian”  lalu Istri berkata  قبلت  “Aku terima”
Khulu tidak syah bila di lakukan secara Mu’athah ( serah terima), yaitu dengan cara istri memberikan tebusan kepada suami dan berpisah tanpa keduanya mengucapkan sighah apapun.
b)      Imammiyah berpendapat bahwa khulu’ tidak syah bila menggunakan kata kiasan. Mereka hanya mensyahkan sighah dengan kata khulu’ dan thalaq, keduanya bisa di ucapkan sekaligus atau salah satu dari keduanya. Misalnya : Istri berkata
بذلت كذا لتطلقني  “Aku serahkan sekian demi engkau menthalaq- Ku” lalu suami berkata:  خعلتك على ذلك  فأنت طالق”aku mengkhulu’_Mu atas hal itu maka kamu tercerai”[11]

G.    KHULU TERMASUK  FASAKH ATAU THALAQ
Jumhur ulama berpendapat bahwa khulu’ itu termasuk thalaq ba’in. Kenapa tetap di sebut thalaq, alasannya karena khulu’ tetap berupa lafazh ( ucapan) yang hanya di miliki oleh suami. Kalau di sebut fasakh, tentu tidak boleh meminta selain shadaqah (maskawin). Padahal dalam khulu’ suami boleh meminta harta apa saja (sedikit atau banyak) baik dari maskawin atau selainnya. Dengan demikian jelaslah bahwa kulu’ itu tetap thalaq bukan fasakh.
Ibnu Abbas berpendapat : bahwa khulu itu fasakh bukan thalaq.[12]
H.    KHULU’ BOLEH WAKTU SUCI DAN HAID
Khulu’ waktu suci dan haid di perbolehkan, karena tidak ada ikatan waktu dan tidak ada keterangan dalam Al- Qur’an yang menetapkan waktunya secara khusus. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al- Baqarah: 229.
“Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya” ( Al- Baqarah: 229).

Rasulullah saw juga tidak menetapkan waktu khusus sehubungan dengan khulu’ istri Tsabit bin Qais. Rasulullah juga tidak bertnya dan membicarakan keadaan isrtinya (tsabit). Imam Syafi’I berkata: “tidak adanya pertanyaan terperinci tentang keadan tesebut, padahal hal seperti ini bisa menimbulkan berbagai tafsiran, berarti menunjukkan sifat yang umum.[13]


[1] Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqh Perbandingan Lima Madzhab. Penerjemah Ibnu Alwi Bafaqih. ( Jakarta: Cahaya, 2007) jil. 3 hal. 560.
[2] Pemberian sebagian besar
[3] Pemberian sebagiannya
[4] Istri menggugurkan hak yang di miliki daru suami. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid. Penerjemah Fathur Rakhman. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) hal. 133.
[5] M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqh. ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994). Hal. 163.
[6] Ayat Inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh. Kulu' Yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut 'iwadh.
[7] Abdul ‘Azhim bin Badawi Al- Khalafi,  Al- Wajiz. Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil. ( Jakarta: Pustaka Al- Sunnah, 2006) hal. 639.
[8] Ibrahim Muhammad Al- Jamal, Fiqh Wanita. Penerjemah Anshori Umar Sitanggal. (Semarang: Asy- Syifa’, 1981) hal. 433
[9] Abdul ‘Azhim bin Badawi Al- Khalafi. Hal. 638
[10] Sayid Sabiq. Hal. 111
[11] Muhammad Ibrahim Jannati, hal. 569-570
[12] Ibrahim Muhammad Al- Jamal. Hal. 434
[13] Sayid Sabiq, Fiqh Al- Sunnah. Penerjemah Dr. M. Thalib. ( Bandung: Al- Ma’arif, 1990) jil. 8 Hal. 104

KEMENANGAN KAUM MUSLIMIN ( SURAT AL- TAUBAH 25 -26)


KEMENANGAN KAUM MUSLIMIN
( SURAT AL- TAUBAH 25 -26)
A.     PENDAHULUAN
 (25) Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai Para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, Yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), Maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang Luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.
(26) kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang- orang yang kafir, dan Demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir.(QS. AL- Taubah: 25-26)

B.     MUNASABAH
 (23) Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
(24) Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan- NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.(QS. Al-Taubah : 23-24)
Telah di sebutkan pada ayat di atas tentang larangan bagi kaum muslimin menjadikan bapak-bapaknya atau saudara-saudaranya yang masih kafir sebagai pemimpin. Mereka di perintanhkan agar lebih mencintai Allah swt dan rasulnya serta  jihad fisabillah dari pada mencintai keluarga, kerabat. Harta kekayaan dan semua kesenangan dunia.[1] Boleh jadi ada  sementara orang yang karena banyaknya pengikut, keluarga, harta dll sehingga ia lengah akan kekuatan, pertolongan, dan karunianya Allah swt.[2] 
Kemudian ayat ini menegaskan kepada kaum Muslimin bahwa kemenangan- kemenangan yang di peroleh kaum Muslimin dalam setiap peperangan adalah karena pertolongan Allah swt bukan karena kekuatan senjata, banyaknya jumlah tentara, harta benda, dan bukan pula karena bantuan sanak famili. Dan itu semua karena Rahmat dan karunia Allah kepada Hamba-hamba yang bertaqwa.
C.     ASBABUN NUZUL
Di kemukakan oleh Al- Baihaqi di dalam kitab Al- Dalail yang bersumber dari Ar –Rabi’ bin Anas ” bahwa ada seorang laki- laki pada peperangan Hunain berkata:” Kita tak akan kalah, karena tentara kita banyak” pada waktu peperangan Hunain itu tetara kaum musliminberjumlah 12.000 pasukan. Mendengar ucapan itu Rasulullah saw merasa sesak dadanya, maka Allah swt menurunkan ayat “pada hari ini “ sampai akhir ayat yang menerangan dalam peperangan tidak boleh bangga karena banyaknya pasukan. [3]
D.      TAFSIR
            Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai Para mukminin) di medan peperangan yang banyak
            Ayat menerangkan bahwa kaum Muslimin mendapat banyak pertolongan dari Allah swt dalam peperangan menghadapi kaum musyrikin yang menghalang-halangi tersiarnya agama Islam. Pertolongan itu berupa kemenangan yang sempurna, cepat maupun lambat.[4]
            Di riwayatkan oleh abu ya’la dari Jabir bahwa jumlah peperangan yang di lakukan Rasulullah saw adalah 21 kali dan yang di ikuti secara langsung oleh Nabi saw 8 kali. Yaitu: perang badar, perang Ahzab, uhud, Bani Musthaliq, khaibar, Fathul makkah, Hunain, dan Thaif. Adapun pengiriman pasukan yang di lakukan Nabi saw untuk menghadapi musuh berjumlah 36 kali.
            Allah swt telah menolong mereka dalam setiap pertempuran, baik pertolongan sempurna (ini yang terbanyak) atau pertolongan yang di campuri dengan sedikit pendidikan atau pelajaran atas kesalahan (dosa) yang telah mereka lakukan, seperti pada perang Uhud dan perang Hunain, ketika itu mereka mendapatkan kesalahan sewaktu peperangan berlangsung dan kemenangan yang sempurna pada akhirnya.[5]

“Dan (ingatlah) peperangan Hunain, Yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), Maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang Luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.”
Allah swt juga telah menolong kamu dalam peperangan Hunain, yaitu: peperangan yang pada mula- mula kamu di hancur- leburkan oleh musuh karena rasa ujub (sombong) di hati-Mu dengan merasa kamu pasti menang karena jumlah pasukan mencapai 12.000 sedangkan pasukan musuh hanya 4.000.
Untuk pertama kalinya pihak muslimin di Hunain mempunyai jumlah perbandingan yang jauh lebih besar di bandingkan dengan pihak musuh. Ternyata jumlah pasukan yang besar pada hari itu tidak memberikan pertolongan dan manfaat apa-apa tetapi jumlah yang besar membawa malapetaka. Pasukan muslimin dalam peperangan itu lebih banyak bersenjataan semangat kesombong daripada kearifan dan pikiran sehat, keimanan dan ke shalehan.akhirnya kaum Muslimin dapat di pukul mundur oleh tentara Musyrikin, seolah-olah jumlah pasukan yang banyak, harta, serta persiapan perang yang demikian lengkapnya tidak berguna sedikitpun. Sehingga bumi yang luas terasa sempit (sesak)[6] dan menyebabkan mereka mundur dan lari dari peperangan dalam keadaan bercerai-berai.[7]   
kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang- orang yang kafir, dan Demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir.”
Ayat ini menerangkan bahwa sesudah kaum Muslimin merasa sedih dan duka cita akibat kekalahan dalam peperangan (perang Hunain). Kemudian Allah swt menurunkan ketenteraman ( sakinah)  kepada Rasul-Nya setelah tampak kasih sayang dan kesedihannya terhadap para sahabat karena kekalahan yang menimpa mereka. Namun yang demikian itu makin menambah keteguhan dan keberaniannya terhadap kaum mukminin yang tetap tabah dan tegar menghadapi musuh, kemudian Allah swt menurunkan bala bantuan tentara malaikat yang tidak terlihat oleh kasat mata kalian, tetapi kalian mendapatkan bekasnya dalam hati kalian, berupa kembalinya kekuatan dan keberanian. Kemudian Allah swt mengadzab orang-orang kafir dengan pembunuhan dan penawanan. Yang demikianitu, merupakan balasan bagi orang-orang kafir di dunia.[8]
E.      POKOK KANDUNGAN

1)      Allah swt telah memberikan karunia yang banyak kepada kaum Muslimin berupa pertolongan dalam banyak peperangan.
2)      Kaum Muslimin merasa bangga dengan jumlah pasukan yang banyak (kuantitas) padahal jumlah yang banyak tidak berguna baginya kalau kwalitasnya lemah
3)      Allah swt menurunkan ketenangan kepada Rasulullah saw dan orang- orang beriman berupa ketabahan dan keteguhan hatinya.
4)      Allah swt menurunkan bala bantuan yang tidak terlihat (para malaikat).
5)      Allah swt memberikan balasan kepada orang-orang kafir berupa kekalahan.  
F.       DURUS TARBAWIYAH

1)      Allah swt memberikan karunia berupa pertolongan yang banyak di setiap peperangan.
2)      Jangan kita lekas terpesona dengan banyaknya jumlah pengikut (kuantitas), karena banyak bilangan, tidaklah menentukan kalau kwalitas lemah atau keimanan lemah.
3)      Bagaimana besarnya bahaya yang di hadapi sehingga para pengikut telah mulai gugup, namun pimpinan tertinggi adalah pedoman utama yang menentukan. Walaupun sudah pada lari kocar-kacir dalam kegugupannya, namun Rasulullah saw tetap dalam sakinahnya, tenang, tenteram dan gagah perkasa.
4)      Sikap Rasulullah saw yang tetap tenang dan gagah perkasa itu menjalar kepada 100 pasukan yang telah menghadapi berbagai peperangan besar selama ini. Yaitu kaum anshar. Itulah kwalitas 100 pasukan yang dapat menentukan hari depan.
5)      Kekuatan spiritualitas yang baik dan kepercayaan diri yang keluar dari keimanan adalah faktor utama kemenangan dalam peperangan.






DAFTAR PUSTAKA
Tafsir Al- Qur’an oleh tim Departemen Agama RI( depag) . Jakarta: Depag, 2005
M. Quraish shihab,Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002
Imam Jalaluddin As- Suyuti, Lubabun Nuqul fi Asbabun Nuzul. Penerjemah Abdul Mujieb As. Rembang: Mutiara Ilmu Surabaya, 1986.
 KH, Qamaruddin Sholeh dkk, Asbabun Nuzul .bandung : diponegoro, 1985
Teungku Muhammad Hasbi As- Shiddieqy, Tafsir Al- Qur’an Al- Majid An- Nur. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.
Ahmad Mushthafa Al- Maraghi, Tafsir Al- Maraghi.  Semarang: Karya Toha Putra Semarang, 1987 


[1] Tafsir Al- Qur’an oleh tim Departemen Agama RI( depag) . (Jakarta: Depag, 2005) jil. 4 hal. 89.
[2] M. Quraish shihab,Tafsir Al-Mishbah. ( Jakarta: Lentera Hati, 2002) jil.5 hal. 562.
[3] Imam Jalaluddin As- Suyuti, Lubabun Nuqul fi Asbabun Nuzul. Penerjemah Abdul Mujieb As. ( Rembang: Mutiara Ilmu Surabaya, 1986). Hal. 282. Dan KH, Qamaruddin Sholeh dkk, Asbabun Nuzul .(bandung : diponegoro, 1985). Cet ke-6 hal. 243.
[4] Tafsir Al- Qur’an oleh tim Departemen Agama RI( depag).hal 90
[5] Teungku Muhammad Hasbi As- Shiddieqy, Tafsir Al- Qur’an Al- Majid An- Nur. (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000) jil.2 hal. 1647.
[6] Maksudnya bahwa kaum muslimin terkepung oleh musuh sehingga bumi yang luas terasa sempit oleh mereka.
[7] Abdullah Yusuf Ali, Al-Qur’an terjemahan dan Tafsir. Penerjemah Ali Audah. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).hal. 446
[8] Ahmad Mushthafa Al- Maraghi, Tafsir Al- Maraghi. ( Semarang: Karya Toha Putra Semarang, 1987) jil.10 hal. 149-150